Pemerintah Indonesia
mengalokasikan 120,6 juta hektar atau sekitar 63 persen dari luas daratannya
sebagai Kawasan Hutan. Sedangkan kawasan daratan sisanya berupa areal bukan
kawasan hutan yang dikenal sebagai Areal Penggunaan Lain (APL).
Dalam menangani berbagai isu
dalam sektor kehutanan Indonesia, sejumlah kegiatan penelitian dan pembangunan telah
dilakukan, antara lain rehabilitasi lahan-lahan gambut yang rusak setelah terjadinya
kebakaran hutan dan lahan, program-program penangkaran satwa liar yang terancam
punah, penelusuran prospek hayati untuk kebutuhan obat-obatan dan protein
(manusia) pada waktu yang akan datang, benih-benih berkualitas tinggi yang direkayasa
secara genetika untuk spesies pohon penting terpilih, dan pengembangan komoditas-komoditas
hutan bukan kayu prioritas yang digunakan oleh masyarakat.
KAWASAN HUTAN
DIKLASIFIKASIKAN MENJADI 3 (TIGA) FUNGSI, YAITU HUTAN PRODUKSI, HUTAN
KONSERVASI DAN HUTAN LINDUNG
Hutan Produksi (HP)
Meliputi areal seluas 68,8 juta
hektar atau 57 persen dari Kawasan Hutan.
Kawasan Hutan Produksi Indonesia meliputi
total areal 68,8 juta hektar, dimana seluas 30,7 juta hektar sudah diberikan kepada
berbagai tipe izin pemanfaatan hutan yang berbeda; seluas 38,1 juta hektar sisanya
belum dibebani izin apapun. Dari 30,7 juta hektar yang telah diberikan izin untuk
pemanfaatan hutan, 61 persen (atau setara dengan 18,8 juta hektar) merupakan Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam (IUPHHK-HA) dan 36 persen (atau
11,18 juta hektar) merupakan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
(IUPHHK-HT). Izin pemanfaatan kayu pada hutan alam (HPH) dan Hutan Tanaman
Industri (HTI) merupakan produsen kayu bulat di Indonesia. Kayu bulat masih merupakan
komoditas utama dari industriindustri hulu ini. Namun demikian, tren saat ini
berubah ke arah pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa-jasa ekosistem,
seperti ekowisata.
Kesenjangan antara produksi yang
ditargetkan dan produksi aktual atau sesungguhnya disebabkan oleh beberapa
masalah di lapangan yang harus ditangani oleh para pemegang izin atau konsesi.
Produksi kayu bulat yang rendah dengan biaya tinggi telah menurunkan keuntungan
bagi pemegang IUPHHK-HA. Keuntungan yang semakin menurun tersebut menyebabkan
36 persen dari pemegang izin hutan alam sama sekali tidak bekerja. Pemerintah
sekarang sedang mencoba untuk membantu mengevaluasi kinerja pemegang IUPHHKHA,
dan mengembangkan komitmen mereka dalam mengelola Hutan Produksi secara
lestari. Melalui upaya-upaya ini, diharapkan bahwa perusahaan akan mulai
beroperasi dengan cara yang lebih sehat, serta mendapatkan lebih banyak
keuntungan dan tetap menjaga kelestarian hutan.
Hutan Konservasi (HK)
Meliputi areal seluas 22,1 juta
hektar atau 18 persen dari Kawasan Hutan (dengan tambahan 5,3 juta hektar dari
kawasan konservasi perairan).
Sesuai dengan prinsip konservasi,
maka pengelolaan kawasan konservasi berkaitan dengan kegiatan utama
perlindungan ekosistem sebagai sistem penopang kehidupan (life support system),
pengawetan sumberdaya alam dan genetiknya, serta pemanfaatan secara lestari.
Indonesia telah menetapkan 552 unit kawasan konservasi seluas 27,4 juta hektar,
yang terdiri atas 22,1 juta hektar kawasan konservasi terestrial dan 5,3 juta
hektar kawasan konservasi laut.
Kawasan konservasi terestrial
seluas 22,1 juta hektar dikelilingi oleh 6.381 desa, dengan sebagian besar
penduduknya memiliki ketergantungan terhadap sumberdaya alam untuk pemenuhan
kebutuhan hidupnya.
Hutan Lindung
Memiliki fungsi perlindungan daerah aliran sungai (DAS) dan meliputi
areal seluas 29,7 juta hektar atau 25 persen.
Hutan Lindung memainkan peran
penting dalam perlindungan daya dukung lingkungan hidup; mencegah banjir;
mengendalikan erosi; mencegah intrusi air laut; dan menjaga kesuburan tanah
serta menyediakan persediaan makanan yang memadai, dan energi untuk kehidupan
manusia dan plasma nutfah untuk penggunaan pada waktu yang akan datang.
Iklim, Posisi Geografis, Flora dan Fauna Indonesia
Indonesia beriklim tropis.
Indonesia terdiri atas lebih dari
17.000 buah pulau yang terletak di antara 2 (dua) benua, Asia dan Australia,
dan di antara 2 (dua) samudera, Samudera Pasifik dan Samudera India.
Indonesia memiliki tingkat
keanekaragaman hayati dan endemisitas yang sangat tinggi, lebih tinggi dari
negara lain di dunia, kecuali Brasil dan Kolombia.
Spesies fauna termasuk satwa liar
yang terkenal seperti harimau Sumatera, gajah Sumatera, badak Sumatera dan
Jawa, orangutan Kalimantan dan Sumatera, kerbau kerdil atau sapi utan, komodo
dan burung cenderawasih.
Gambut
Indonesia memiliki ekosistem
gambut seluas 24,67 juta hektar yang tersebar dalam bentuk Kesatuan Hidrologis
Gambut (KHG) dimana di dalamnya terdapat lahan gambut dan non gambut. Luas
lahan gambut sebesar 14,9 juta hektar tersebar di 4 pulau besar, yaitu
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.
Untuk mencegah degradasi lahan
gambut dan meningkatkan kualitas pengelolaannya, Pemerintah telah menerbitkan
Peraturan mengenai Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut pada Tahun
2014, yang telah disempurnakan pada Tahun 2016. Peraturan yang telah direvisi
ini dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan ekosistem gambut, berdasarkan
pentingnya menjaga dan mempertahankan keseimbangan air, menyimpan karbon, dan
konservasi keanekaragaman hayati.
Indonesia memiliki lahan gambut
tropis yang lebih luas dibandingkan dengan negara lain di dunia. Inventarisasi
ekosistem gambut telah dihasilkan peta Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG)
Nasional. Beberapa KHG bahkan sudah dipetakan secara rinci pada tingkat
Propinsi, Kabupaten/Kota. Peta-peta ini memperlihatkan bahwa total luas
ekosistem gambut Indonesia adalah 24,67 juta hektar, yang sekitar 9,60 juta
hektar diantaranya terletak di Sumatera, 8,40 juta hektar di Kalimantan, 63
ribu hektar di Sulawesi, dan 6,59 juta hektar di Papua.
Restorasi Lahan
Dengan terbitnya peraturan
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Tahun 2014 yang direvisi
Tahun 2016, mandat diberikan kepada Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan
Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit yang terlanjur membuka lahan gambut dalam,
untuk melakukan restorasi dengan cara menyusun Rencana Restorasi Ekosistem
Gambut.
Kegiatan-kegiatan restorasi juga
sedang dilaksanakan di areal-areal bekas tebangan di hutan alam melalui Izin
Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu–Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).
Konsesi-konsesi ini diberikan kepada pihak-pihak yang telah berjanji untuk
mengembalikan areal-areal bekas tebangan semaksimal mungkin kepada keadaan
aslinya, memperhatikan kondisi struktur hutan, komposisi dan keanekaragamannya.
Prinsip-prinsip dasar konsesi Restorasi Ekosistem adalah untuk mempertahankan
fungsi-fungsi hutan (termasuk status administratif yang berlaku saat ini di
Kawasan Hutan), menjamin perlindungan dan pengawetan (konservasi) hutan;
memulihkan tingkat-tingkat keanekaragaman hayati dan keanekaragaman non-hayati
(restorasi); mengoptimalkan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa
lingkungan; mencapai kelestarian (keberlanjutan), dan memfasilitasi
rehabilitasi.
Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB)
Kebijakan moratorium pemanfaatan
hutan alam primer dan lahan gambut merupakan kebijakan signifikan yang
dirumuskan oleh Pemerintah Indonesia. Untuk melaksanakan kebijakan ini,
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menerbitkan sebuah Keputusan Menteri
dengan sebuah Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB) untuk
pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, dan perubahan peruntukan Kawasan
Hutan dan Areal Penggunaan Lain (PIPPIB – yang lebih dikenal sebagai peta moratorium).
Luas areal moratorium tersebut meliputi lebih dari 66 juta hektar yang berupa
hutan alam primer dan/atau lahan gambut, dan pada areal yang tidak dibebani
izin serta berada di Hutan Produksi atau Areal Penggunaan Lain. Di dalam 66
juta hektar areal moratorium tersebut, tidak ada konsesi-konsesi yang boleh
diberikan selama moratorium tersebut masih diberlakukan. Moratorium mulai
diberlakukan pada Tahun 2011 untuk jangka waktu 2 tahun dan telah diperpanjang
beberapa kali.
Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Program Perhutanan Sosial
Dengan ekonomi Indonesia yang
semakin berkembang dan penduduk semakin meningkat, permintaan untuk penggunaan
lahan menjadi lebih tinggi. Sejak Tahun 2015, Pemerintah telah meluncurkan
kebijakan Ekonomi Pemerataan untuk mendorong kesetaraan sosial; dalam bentuk
Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Program Perhutanan Sosial yang merupakan
komponen tidak terpisahkan dari kebijakan Ekonomi Pemerataan, dengan tujuan
untuk menjamin ketersediaan lahan dan akses kawasan hutan bagi para anggota
masyarakat setempat dan/atau masyarakat Adat. Lahan yang dialokasikan untuk
TORA dan akses kawasan hutan untuk redistribusi tanah seluas 4,5 juta hektar,
diantaranya seluas 4,1 juta hektar adalah Kawasan Hutan yang potensial untuk
dilepaskan sebagai bagian dari program TORA. Di sisi lain, pemerintah juga
telah menyiapkan kawasan hutan seluas 12,7 juta hektar untuk dapat diakses masyarakat
melalui Program Perhutanan Sosial.
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
adalah bentuk pengelolaan hutan yang paling maju yang telah dikembangkan oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Ada tiga bentuk KPH, yang salah
satunya adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL). KPHL tidak hanya
fokus pada perlindungan hutan tetapi juga memfasilitasi partisipasi masyarakat
dalam program-program yang berhubungan dengan pengumpulan dan pemanfaatan
hasil-hasil hutan bukan kayu dan penyediaan jasa lingkungan. Pada tingkat
situs/lapangan, kegiatan-kegiatan pengelolaan perlindungan hutan melibatkan
pemberian fasilitasi dan bantuan kepada masyarakat untuk memanfaatkan areal
yang dilindungi untuk mendukung kesejahteraan mereka dan melibatkan masyarakat
tersebut dalam mendukung fungsi perlindungan hutan.
Masyarakat Dan Hutan
Sebagian besar masyarakat
Indonesia masih memiliki ketergantungan ekonomi terhadap potensi kawasan hutan.
Sebanyak 25.800 desa, atau 34,1% dari total 74.954 desa di seluruh Indonesia,
merupakan wilayah-wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan.
Sumber:
KLHK. 2018. Status Hutan dan
Kehutanan Indonesia 2018. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik
Indonesia. Jakarta.